Oleh: Rhenald Kasali (Guru Besar UI)
Jawa Pos
Tidak semua bangsa-bangsa yang maju bisa berbahasa Inggris, tetapi anehnya bangsa-bangsa yang maju itu punya ke-pede-an yang bagus. Jadi meski bahasa asing yang diterima secara internasional (misalnya bahasa Inggris) kurang bagus, mereka pede saja.
Di Harvard, saya banyak bertemu anak-anak muda yang TOEFL-nya di atas 600, tetapi kalau bicara, hmm,… susah juga saya mengerti apa yang mereka mau sampaikan. Tapi toh mereka pede aja. Yang saya sering bingung adalah orang-orang yang diajak bicara, tak jarang sama-sama susah dimengerti apa yang mau disampaikan. Inggris logat India bertemu logat Korea dan Meksiko, susahnya minta ampun untuk dimengerti. Tetapi mereka bisa tertawa-tawa bersama.
Saya pikir itu hanya saya saja yang tidak mengerti. Tetapi Prof. Michael Porter, Guru Besar senior di Harvard mengatakan hal yang sama kepada saya. Meski demikian, kita sebagai guru pantang mengintimidasi kemampuan bahasa seseorang. “Bahkan gesture kita saja tak boleh mengintimidasi,” ujarnya.
Makuto Naruto
Di Boulder – Colorado, 20 tahun yang lalu saat belajar bahasa Inggris, saya pernah diajak makan siang oleh seorang teman dari Jepang. Dia bertanya, mau tidak makan siang di Makuto Naruto. Penasaran dengan nama resto itu, saya pun mengikutinya. Ternyata itu Mc Donald’s. Begitu sampai di restoran saya pun terbahak-bahak dan kawan saya kebingungan tidak mengerti mengapa saya menertawakannya. Setelah dijelaskan ia pun tertawa sambil menggosok-gosok kepalanya. Orang Jepang kesulitan mengeja kata yang huruf penutupnya bukan huruf hidup, jadilah Mc Donald, Makuto Naruto.
Tetapi mengapa dengan bahasa Inggris pas-pasan seperti itu mereka bisa mengasai dunia dan ada di mana-mana? Mereka ada di seluruh sudut Eropa hingga ke Rusia dan eks Uni Soviet, di seluruh jagat Afrika, dan tentu saja di Asia. Bahkan jauh sebelum menduduki Indonesia, orang-orang tua kita bercerita, mereka sudah menjelajahi kampung demi kampung dengan membawa pikulan.
Kini kita juga menyaksikan orang-orang China dengan gelombang yang lebih besar lagi menjelajahi seluruh jagat raya. Sebelumnya orang-orang Korea dan India juga melakukan hal serupa. Tak semua imigran itu kaum sekolahan. Sebagian besar generasi pertama asal China dan India yang datang ke Amerika memang banyak didominasi oleh para penganggur yang berprofesi sebagai penjaga toko dan supir taksi.
Berkat Guangxi atau jejaring sosial, mereka survive dan memupuk modal. Orang-orang China perantauan ini membuka usaha restoran dengan menu dan desain yang sama direplikasi, dari uang arisan menyebar ke berbagai kota. Orang-orang Korea juga sama. Kalau tak bisa berbahasa Inggris juga tidak masalah. Mereka membuka usaha kecil yang membuka peluang untuk berbicara dengan konsumen sedikit mungkin. Mereka membuka usaha laundry yang dioperasikan secara otomatik.
Demikian juga orang-orang Eropa Timur. Mereka masuk ke Amerika dengan membuka losmen-losmen kecil di daerah pinggiran. Tidak bisa berbahasa Inggris tetapi pede aja. Hasilnya generasi kedua mereka menjadi global citizen.
Do You Have Brain
Kisah orang-orang Indonesia diperantauan ternyata juga ada. Di tepi danau Rocca Di Papa, dekat Roma-Italia, saya bertemu Dewi Francesca yang dulu menjadi pelayan restoran di Bali. Dewi kini menjadi pemilik kafe yang indah dan diminati para honeymooners. Apakah sejak dulu Dewi bisa berbahasa Itali? Ternyata tidak.
Di Amerika, orang-orang yang mempunyai usaha kecil juga bukan orang-orang yang berangkat dengan TOEFL score yang tinggi. Seorang ibu yang sukses memimpin sebuah usaha pernah saya temui di sebuah swalayan milik orang Korea dengan kata-kata yang aneh. Rupanya ia ingin membuat gulai otak untuk suaminya. Saat menanyakan pada petugas toko, ia bilang begini: “Sir, do you have brain?” Tentu saja petugas toko mendelik.
Saya jadi teringat dengan Tukul Arwana yang kosa kata bahasa inggrisnya semakin hari semakin banyak dan terlihat pandai. Apa rahasianya?
Belajar dari para perantau yang berhasil dan dari komedian yang cerdas, mungkin kita perlu berkaca dengan sistem pendidikan bahasa di sekolah-sekolah kita. Dulu saya belajar bahasa Inggris sejak SMP. Anak-anak sekarang sudah mulai belajar bahasa Inggris sejak kelas 1 SD. Bahkan ada yang dari TK. Jadi, masalahnya bukanlah kapan seseorang mulai belajar bahasa, melainkan apa yang diajarkan.
Setahu saya sekolah-sekolah kita, selalu fokus pada rumus, angka, dan rule. Bahkan yang diajarkan di bahasa adalah grammar dan pronounciation. Grammar itu penting, tetapi tanpa keberanian berbicara dan menulis, anak-anak kita tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka bahkan bisa menjadi sangat takut berbicara, kala grammar-nya lupa, atau pronounciation-nya salah. Padahal, di dunia internasional keberanian untuk berbicara akan membuka masa depan seseorang. Orang-orang yang beranilah yang akan menguasai dunia. Yaitu berani salah selagi muda, tapi terus belajar mengoreksi diri. Yuk pupuk keberanianmu!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar