Pages

Rabu, 06 November 2013

The First 'Ngaleut' Jakarta

“Aleut” merupakan sebuah kosakata sunda yang berarti beriringan, berbarengan, atau bersama-sama. Biasanya dengan menggunakan istilah ‘ngaleut’. Ditahun ke-3 ketika kuliah di Bandung sekitar tahun 2012 akhir, aku baru mengenal sebuah ‘komunitas Aleut’ yang setiap minggu sering kali ngajak ‘ngalet’ atau jalan-jalan bareung di sekitar Bandung. Karena aku merasa tidak akan lama di Bandung, aku berusaha sekuat tenaga untuk memahami seluk beluk tentang destinasi wisata yang di Bandung, mencoba memahami sebaik mungkin setiap ruas jalan yang ada di Bandung walau hanya mengandalkan angkutan umum atau tebengan temen-temen. Begitupun dengan wisata sejarah, aku selalu menikmati perjalanan di Jl. Braga walau hanya sebatas menghabiskan waktu weekend saja, pernah juga maksa teman-teman untuk menemaniku jalan di Tegal lega padahal belum tahu disana mau ngapain, atau hanya iseng untuk singgah di makam pahlawan saat aku harus ngumpul di Sadang Tengah.

Hari Sabtu, merupakan hari dimana akan aku sempatkan untuk membuka facebook, sekedar untuk tahu saja kemana acara ‘ngaleut’ di minggu ini. Sempat bebebapa kali mencoba menghubungi untuk memastikan dimana akan start dan akan kemana saja, akan tetapi itu selalu gagal dan selalu ada saja alasannya, maklum ditahun ke-3, sambil kerja pula dan dikejar pengen lulus duluan.
Barulah tiba saatnya, ketika sudah tidak di Bandung lagi, Mei 2013 resmi kembali ke kampung halaman di Kota hujan, menikmati petir dan getirnya hidup di Bogor.*Lebay dikit, sempat parno juga dengan hujan yang deras dan petir yang dahsyat karena sudah sekitar 9 tahun aku hanya singgah saja di rumah tercinta dan kebetulan pula saat ini belajar di Kota Bogor yang di informasi BMKG ternyata pusat petir itu ada dimana aku tinggal, Ciomas.
Tibalah di tanggal merah menyambut tahun baru islam 1435 H, tepatnya selasa 5 November 2013 pertama kalinya ikut ‘ngaleut’, tapi bukan di Bogor maupun di Bandung, tapi di Ibukota tercinta, Jakarta. Pagi buta 05:47 aku keluar dari rumah kos dan berburu angkot yang menuju stasion Bogor, sampai disana sekitar 06:18 dan segera membeli tiket menuju stasion Gondanggia. Agak was-was sebetulnya ketika meeting point jam 08:00 di KFC Tugu tani, takut gag keburu soalnya belum tahu persis dimana Tugu itu berada dan akan menghabiskan waktu berapa jam untuk sampai kesana, tapi untunglah balasan sms dari salah satu pegiat “Aleut” mencoba memastikan untuk santai dan baik-baik saja. Tibalah di stasion Gondanggia pada pukul 08;00 tepat sekali, dan mencoba mencari celah untuk sampai ke Tugu tani. Ketika keluar stasion langsung di serbu oleh para tukang bajaj dan ojek, tapi tentu saja aku tidak memilih salah satunya karena tidak ada rekomendasi  dari temanku untuk menggunakan jasa kedua angkutan itu. Lebih memilih bertanya dan Alhamdulillah mendapat petunjuk yang cerah tanpa keluar saku.*Piis.. jalan lagiii… Siapa takut, orang niatnya aja mau jalan-jalan.

Awal yang cerah ketika melihat KFC ada di depan mata, tapi aku hanya melihat dua orang cowok yang lagi pada ngopi, sering kaku sebetulnya ketika ngumpul tanpa ada perempuan lain selain aku. Makanya ragu untuk nyamperin duluan, tapi mau gimana lagiii…*piiss,, tapi Alhamdulillah setelah sarapan dan kegiatan perkenalan tinggallah kita ber-8 dan ada dua cewek diantara yang ber-8 itu. Tenang….

Langkah kaki tertuju pada sebuah gereja yang ada di sebrang KFC, sebut gereja Anglikan, sebuah gereja yang terlihat sederhana dan di lengkapi dengan makam William kampbel yang nisannya rata dengan tanah dan ada pula beberapa nisan lain dengan nama yang sama namun beda ukurannya.

Langkah kedua menuju gereja Immanuel yang ternyata dalam tahap renovasi sehingga kita tidak berhasil untuk memasukinya. Gereja Immanuel ini dibangun pada  tahun 1834 dengan mengikuti hasil rancangan J.H. Horst, yang kata salah seorang teman kami mirip sekali dengan salah satu gereja yang ada di Semarang.
Selanjutnya menuju Gereja Katedral (1968) dan berharap sekali bisa memasukinya karena disana terdapat museum juga, namun apadaya, kami hanya bisa menikmati di teras bagian depannya sambil mendengar sang ahli sejarah berceloteh tentang asal-usul gereja ini, siapa yang ngebangunnya, dan berbagai sejarah tentang PKI, pemberontakan, dan lainnya tentang jaman jabot..

Sebelum sampai ke katedral, kami melewati gedung Volksraad dan gedung Pancasila, berikut rangkuman dari hasil rekaman yang didapatkan :
“Volksraad seperti DPR saat ini yang dipilih oleh perwakilan dari kota dengan sistem koperasi, Budi Utomo dan sarikat islam salah satu yang mau masuk Polkstrat, dan ada tokoh yang pertama berbicara dengan bahasa melayu yang biasanya menggunakan bahasa Belanda.  Pada tahun 1926-1927 ideologi non koperasi muncul pas Soekarno membangun PNI. Selanjutnya kita dikenalkan dengan gedung Raad van Indie seperti dewan negara seperti staf asli yang isinya orang-orang pinter mulai dari ahli agama, ahli ekonomi, dan ahli lainnya. Gedung pancasila karena dahulu merupakan tempat merumuskan pancasila dan PPKI, awalnya pada tanggal 16 Agustus 1945 mereka mau rapat disini, tapi ternyata di jaga Jepang sehingga pindah ke rumah Laksamana Meyda”.
Kita juga melewati sungai ciliwung dan mendapat informasi tentang Nyai Dasimah, begitulah seterusnya saya yang hanya mampu mendengarkan karena tidak begitu tahu menahu tentang asal usul Jakarta dan Indonesia jaman penjajahan dulunya, jangan Tanya dech nilai sejarah di rapot berapa.*piiis
Lanjut perjalanan ke RS PAD dan mengikuti shalat dzuhur berjamaah disana. Ternyata sebelumnya gedung ini istana yang kemudian dihancurkan oleh Belanda dan kemudian dijadikan rumah sakit pas sekiatar tahun 1857. Terakhir kita mampir ke Museum Kebangkitan Nasional yang ada di Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh, dengan tiket hasil nego Rp. 2.000/orang kami bisa memutarinya walau sebagian dari bangunan ini sedang di renovasi pula.
Museum ini merupakan gedung yang ada di komplek Ex-Stovia yaitu sekolah kedokteran untuk bumi putera, sekolah ini diadakan untuk mencetak dokter-dokter yang nantinya bisa di bayar murah dan lucunya ketika mereka belajar itu menggunakan pakaian asli dari sukunya, seperti halnya orang Jawa menggunakan blankon dan orang inggiris sendiri menggunkaan baju dan celana berwarna putih.  Gedung ini dibangun pada tahun 1899 dan diresmikan oleh presiden Soeharto pada tahun 1974.


Akhirnya selesailah petualangan kami pada kesempatan ini, dan ditutup dengan makan siang bersama di KFC dimana awal kita berkenalan, selanjutnya sharing dan berbagi kesan, lalu Pulang…Sejujurnya banyak sekali bangun tua dan pasti bersejarah yang kami lewati dan tak mampu saya ceritakan, begitupun dengan gedung mewah, tua, dan luas lainnya, juga patung-patung yang menjadi penghias kota sejak zaman orde lama.

Alhamdulillah, awal yang mengesankan dan menggoda*tergoda untuk terus mengenal sejarah dan mempelajari sejarah. See U di ‘ngaleut’ selanjutnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar