“Aleut” merupakan sebuah
kosakata sunda yang berarti beriringan, berbarengan, atau bersama-sama.
Biasanya dengan menggunakan istilah ‘ngaleut’. Ditahun ke-3 ketika kuliah di
Bandung sekitar tahun 2012 akhir, aku baru mengenal sebuah ‘komunitas Aleut’
yang setiap minggu sering kali ngajak ‘ngalet’ atau jalan-jalan bareung di
sekitar Bandung. Karena aku merasa tidak akan lama di Bandung, aku berusaha
sekuat tenaga untuk memahami seluk beluk tentang destinasi wisata yang di
Bandung, mencoba memahami sebaik mungkin setiap ruas jalan yang ada di Bandung
walau hanya mengandalkan angkutan umum atau tebengan temen-temen. Begitupun
dengan wisata sejarah, aku selalu menikmati perjalanan di Jl. Braga walau hanya
sebatas menghabiskan waktu weekend saja, pernah juga maksa teman-teman untuk
menemaniku jalan di Tegal lega padahal belum tahu disana mau ngapain, atau
hanya iseng untuk singgah di makam pahlawan saat aku harus ngumpul di Sadang
Tengah.
Hari Sabtu, merupakan hari
dimana akan aku sempatkan untuk membuka facebook, sekedar untuk tahu saja
kemana acara ‘ngaleut’ di minggu ini. Sempat bebebapa kali mencoba menghubungi
untuk memastikan dimana akan start dan akan kemana saja, akan tetapi itu selalu
gagal dan selalu ada saja alasannya, maklum ditahun ke-3, sambil kerja pula dan
dikejar pengen lulus duluan.
Barulah tiba saatnya, ketika
sudah tidak di Bandung lagi, Mei 2013 resmi kembali ke kampung halaman di Kota
hujan, menikmati petir dan getirnya hidup di Bogor.*Lebay dikit, sempat parno
juga dengan hujan yang deras dan petir yang dahsyat karena sudah sekitar 9
tahun aku hanya singgah saja di rumah tercinta dan kebetulan pula saat ini
belajar di Kota Bogor yang di informasi BMKG ternyata pusat petir itu ada
dimana aku tinggal, Ciomas.
Tibalah di tanggal merah
menyambut tahun baru islam 1435 H, tepatnya selasa 5 November 2013 pertama
kalinya ikut ‘ngaleut’, tapi bukan di Bogor maupun di Bandung, tapi di Ibukota
tercinta, Jakarta. Pagi buta 05:47 aku keluar dari rumah kos dan berburu angkot
yang menuju stasion Bogor, sampai disana sekitar 06:18 dan segera membeli tiket
menuju stasion Gondanggia. Agak was-was sebetulnya ketika meeting point
jam 08:00 di KFC Tugu tani, takut gag keburu soalnya belum tahu persis dimana
Tugu itu berada dan akan menghabiskan waktu berapa jam untuk sampai kesana,
tapi untunglah balasan sms dari salah satu pegiat “Aleut” mencoba memastikan
untuk santai dan baik-baik saja. Tibalah di stasion Gondanggia pada pukul 08;00
tepat sekali, dan mencoba mencari celah untuk sampai ke Tugu tani. Ketika
keluar stasion langsung di serbu oleh para tukang bajaj dan ojek, tapi tentu
saja aku tidak memilih salah satunya karena tidak ada rekomendasi dari temanku untuk menggunakan jasa kedua
angkutan itu. Lebih memilih bertanya dan Alhamdulillah mendapat petunjuk yang
cerah tanpa keluar saku.*Piis.. jalan lagiii… Siapa takut, orang niatnya aja
mau jalan-jalan.
Awal yang cerah ketika
melihat KFC ada di depan mata, tapi aku hanya melihat dua orang cowok yang lagi
pada ngopi, sering kaku sebetulnya ketika ngumpul tanpa ada perempuan lain
selain aku. Makanya ragu untuk nyamperin duluan, tapi mau gimana lagiii…*piiss,,
tapi Alhamdulillah setelah sarapan dan kegiatan perkenalan tinggallah kita
ber-8 dan ada dua cewek diantara yang ber-8 itu. Tenang….
Langkah kaki tertuju pada
sebuah gereja yang ada di sebrang KFC, sebut gereja Anglikan, sebuah gereja
yang terlihat sederhana dan di lengkapi dengan makam William kampbel yang
nisannya rata dengan tanah dan ada pula beberapa nisan lain dengan nama yang
sama namun beda ukurannya.
Langkah kedua menuju gereja Immanuel
yang ternyata dalam tahap renovasi sehingga kita tidak berhasil untuk
memasukinya. Gereja Immanuel ini dibangun pada tahun 1834 dengan mengikuti
hasil rancangan J.H.
Horst, yang kata salah seorang teman kami mirip sekali dengan salah
satu gereja yang ada di Semarang.
Selanjutnya
menuju Gereja Katedral (1968) dan berharap sekali bisa memasukinya karena
disana terdapat museum juga, namun apadaya, kami hanya bisa menikmati di teras
bagian depannya sambil mendengar sang ahli sejarah berceloteh tentang asal-usul
gereja ini, siapa yang ngebangunnya, dan berbagai sejarah tentang PKI,
pemberontakan, dan lainnya tentang jaman jabot..
Sebelum
sampai ke katedral, kami melewati gedung Volksraad dan gedung Pancasila, berikut
rangkuman dari hasil rekaman yang didapatkan :
“Volksraad seperti DPR saat ini yang dipilih oleh perwakilan dari kota dengan sistem
koperasi, Budi Utomo dan sarikat islam salah satu yang mau masuk Polkstrat, dan
ada tokoh yang pertama berbicara dengan bahasa melayu yang biasanya menggunakan
bahasa Belanda. Pada tahun 1926-1927
ideologi non koperasi muncul pas Soekarno membangun PNI. Selanjutnya kita
dikenalkan dengan gedung Raad van Indie seperti dewan negara seperti staf asli
yang isinya orang-orang pinter mulai dari ahli agama, ahli ekonomi, dan ahli
lainnya. Gedung pancasila karena dahulu merupakan tempat merumuskan pancasila
dan PPKI, awalnya pada tanggal 16 Agustus 1945 mereka mau rapat disini, tapi
ternyata di jaga Jepang sehingga pindah ke rumah Laksamana Meyda”.
Kita
juga melewati sungai ciliwung dan mendapat informasi tentang Nyai Dasimah,
begitulah seterusnya saya yang hanya mampu mendengarkan karena tidak begitu
tahu menahu tentang asal usul Jakarta dan Indonesia jaman penjajahan dulunya,
jangan Tanya dech nilai sejarah di rapot berapa.*piiis
Lanjut
perjalanan ke RS PAD dan mengikuti shalat dzuhur berjamaah disana. Ternyata sebelumnya
gedung ini istana yang kemudian dihancurkan oleh Belanda dan kemudian dijadikan
rumah sakit pas sekiatar tahun 1857. Terakhir kita mampir ke Museum Kebangkitan
Nasional yang ada di Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh, dengan tiket hasil nego Rp.
2.000/orang kami bisa memutarinya walau sebagian dari bangunan ini sedang di
renovasi pula.
Museum
ini merupakan gedung yang ada di komplek Ex-Stovia yaitu sekolah kedokteran
untuk bumi putera, sekolah ini diadakan untuk mencetak dokter-dokter yang
nantinya bisa di bayar murah dan lucunya ketika mereka belajar itu menggunakan
pakaian asli dari sukunya, seperti halnya orang Jawa menggunakan blankon dan
orang inggiris sendiri menggunkaan baju dan celana berwarna putih. Gedung ini dibangun pada tahun 1899 dan
diresmikan oleh presiden Soeharto pada tahun 1974.
Akhirnya
selesailah petualangan kami pada kesempatan ini, dan ditutup dengan makan siang
bersama di KFC dimana awal kita berkenalan, selanjutnya sharing dan berbagi
kesan, lalu Pulang…Sejujurnya banyak sekali bangun tua dan pasti bersejarah yang kami lewati dan tak mampu saya ceritakan, begitupun dengan gedung mewah, tua, dan luas lainnya, juga patung-patung yang menjadi penghias kota sejak zaman orde lama.
Alhamdulillah,
awal yang mengesankan dan menggoda*tergoda untuk terus mengenal sejarah dan
mempelajari sejarah. See U di ‘ngaleut’ selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar